Perenialisme
Sejarah Filsafat Perenialisme
Perenialisme lahir pada tahun
1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia ini penuh kekacauan, ketidakpastian
dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan
sosio-kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan ini.
Teori atau konsep pendidikan
perenialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato yang merupakan
bapak idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai bapak realisme klasik dan
filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles
dengan ajaran (filsafat) gereja katolik yang tumbuh pada zamannya (abad
pertengahan).
Kira-kira antara abad ke-6 hingga
abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat perenialisme. Namun,
mungkin saja kita bisa saja dengan terburu-buru melihat perkembangan filsafat
perenial ini hanya dalam kerangka sejalan pemikiran barat saja, melainkan juga
terjadi di wilayah lainnya. Dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak
perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak dalam konteks sejarah
perkembangan intlektual Barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat
ini mendapat eleborasi sistematisnya dari para perenialis Barat, seperti
Agostino Steunco.
Namun, filsafat perenial atau yang
sering disebut sebagai kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan
yang kompleks secara berangsur-angsur mulai runtuh menjelang akhir abad ke-16.
Salah satu alasan yang paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari
filsafat materialis. Filsafat materialis ini membawa perubahan yang radikal
terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.
Memasuki abad ke-18, karena pengaruh
filsafat materialis, banyak aspek realita yang diabaikan, dan yang tinggal
hanyalah sistem mekanistik belaka. Filsafat matearialis ini begitu kuat
mempengaruih pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16 hingga
akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada
tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman kontemporen. Dan
pada zaman kontemporer ini lah dapat dikatakan zaman kebangkita filsafat
perenialisme.
Esensi Aliran Filsafat Perennialisme
Istilah perenialisme berasal
dari bahasa latin, yaitu dari akar kata perenis atau perennial
(bahasa Inggris) yang berarti tumbuh terus menerus melalui waktu, hidup terus
dari waktu ke waktu atau abadi. Perenial diartikan sebagai “continuing
throughout the whole year” atau “lasting for a very long time”
(abadi atau kekal atau terus tiada akhir). Filsafat perenialisme berpegang pada
nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal atau abadi. Aliran ini
mengambil analogi realita sosial budaya manusia sebagai realita pohon bunga
yang terus menerus mekar, datang dan pergi serta berubah warna secara tetap
sepanjang tahun dan masa dengan gejala yang harus ada dan sama.
Perenilaisme memandang bahwasanya
pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang dalam
kehidupan manusia, trutama dalam bidang pndidikan. Oleh karena itu,
perenialisme memberikan solusi jalan keluar dari kekrisisan tersebut dengan
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya.Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila saja seandainya
perenialisme mengatakan bahwasanya kebudayaan yang ada pada saat ini berada dalam
kondisi yang krisis dan perlu kembali kemasa lampau, karena dengan
dikembalikannya kepada masa lampau, maka kebudayaan sekarang yang dianggap
berada dalam krisis tersebut dapat teratasi, dengan memusatkan perhatiannya
kepada pendidikan pada zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang.
Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik
bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Perenialisme merupakan suatu aliran
filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunan tersebut merupakan
hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi orang untuk bersikap yang
tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama filsafat khususnya filsafat
pendidikan.
Kaum perenialisme menggunakan jalan
mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip
umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan
abad pertengahan. Dengan demikian kalangan perenialisme mempelopori gerakan
kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide gagasan yang luhur
menyejarah bagi manusia. Ide gagasan seperti ini telah terbukti keabsahan dan
kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan
secara penting akal budi, nalar dan karya-karya besar masa lalu. Perenialisme
adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui
yang lebih spesifik dalam formulasi-formulasi teoritisnya karena kemunculannya
dilatari oleh ‘musuh’ yang nyata dan berpengaruh dalam progresivisme
kependidikan.
Motif perenialisme dengan mengambil
jalan mengembalikan kepada masa lampau tidak hanya sebagai nostalgia (rindu akan
hal-hal yang lampau) semata, tetapi telah berdasar pada keyakinan bahwa
kepercayaan prinsip-prinsip aksiomatis yang berguna pada zaman sekarang karena
tidak terikat oleh waktu dan tetap berlaku dalam perjalanan sejarah. Jadi,
perenialisme menganggap bahwa pentingnya pembentukan kebiasaan dalam pendidikan
sekarang yang didasarkan pada kebiasaan dan kebudayaan pada masa lampau yang
memiliki nilai dan idealitas serta memiliki kegunaan untuk kehidupan masa
sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa
lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme dimana pendidikan yang ada pada
zaman skarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang. Kunci memahami protes
kalangan perenialis dalam pendidikan adalah konsep pendidikan liberal.
Pendidikan liberal (bebas) dalam tradisi klasik berkisar di seputar
kajian-kajian yang menjadikan orang-orang bebas dan manusia sejati sebagai
lawan dari pelatihan yang mana mereka menerima begitu saja melakukan
tugas-tugas khusus dalam dunia kerja. Dalam dunia Yunani, manusia dibagi
menjadi dua macam, pertama mereka yang melakukan tugas kerja
(mengandalkan otot) dan mereka yang melakukan tugas berfikir (menggunakan
kemampuan rasionalitas keistimewaan manusia). Kedua merupakan kelompok
yang yang bebas menjalankan pemerintahan (fungsi memerintah dan mengatur).
Karena mereka bebas, mereka membutuhkan pendidikan yang akan mengembangkan
kemampuan rasional kemanusiaannya. Pendidikan menfokuskan pada aspek mental dan
rasional manusia dan cenderung memperhatikan (memikirkan) ide dan gagasan yang
berpengaruh dari budaya barat.
Filsafat perenialisme ini,
berasaskan pada kebudayaan yang mempunyai dua buah sayap, yaitu perenialisme
yang bersifat theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja
katolik, khususnya menurut ajaran interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialismesekuler,
yakni yang berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh H.B Hamdani Ali
dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles mengembangkan Philosophia
Perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran
manusia itu sendiri, S.T Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan
sesuai sesuai dengan tuntunan agama kristen tatkala agama itu datang. Kemudian
lahir apa yang dikenal dengan nama Teo-Thomisme. Teo-Thomisme masih dalam
bentuk awam maupun dalam faham gerejawi sampai tingkat kebijaksanaan, maka ia
terkenal dengan nama perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Teo-Thomisme
ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntunan
abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup
dimengerti dan didasari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan
eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka
metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia dikemukakan
bahwa hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat spiritualnya. Simbol
dari sifat ini terletak pada peranan akan yang karenanya manusia dapat mengerti
dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwasanya aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan
yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas.
Dimana tokoh-tokoh ini timbul dari lingkungan agama katolik.
Pandangan
Ontologi Perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa apa
yang dibutuhkan manusia terutama ialah jaminan bahwa reality is universal
that is every where and at every moment the same, realita itu bersifat
universal bahwa realita itu ada di mana saja dan sama di setiap waktu.
Dengan keputusan yang bersifat
ontologisme kita akan sampai pada pengertian pengerian hakikat. Ontologi
perenialisme berisikan pengertian, diantaranya ialah: benda individual, esensi,
aksiden dan substansi.
a. Benda individual adalah benda yang sebagaimana nampak di hadapan manusia
yang dapat ditangkap oleh indera manusia, seperti batu, kayu,dan lain-lain.
b. Esensidari sesuatu adalah suatu kualitas tertentu yang menjadikan benda itu
lebih baik intrinsik dari pada halnya, misalnya manusia ditinjau dari esensinya
adalah berpikir.
c. Aksidenadalah keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang
penting dibandingkan dengan esensialnya, misalnya orang suka barang-barang
antik.
d. Substansi adalah suatu kesatuan dari tiap-tiap hal individu, dari yang khas
dan yang universal baik yang material atau spiritual.
Ada empat sebab (kausa) yang menjadi penyebab terjadinya sesuatu atau
berlangsungnya sesuatu. Dalam buku Plato yang berjudul fisika menerangkan bahwa
istilah-istilah yang menjelaskan tentang adanya garis perjalanan suatu benda
yang digunakan sebagai dasar untuk mengadakan penemuan mengenai suatu benda.
Kausa tersebut dalam sebagai berikut:
a. Kausa materialis, yaitu bahan yang menjadi susunan sesuatu benda, misalnya
telur, tepung dan gula untuk roti.
b. Kausa formalis, yaitu sesuatu dipandang dari formnya, bentuknya atau
modelnya, misalnya bulat, kotak, dan lain-lain.
c. Kausa efisien, yaitu gerakan yang digunakan dalam pembuatan sesuatu cepat,
lambat atau tergesa tergesa.
d. Kausa finalis, adalah tujuan atau akhir dari sesuatu, misalnya, tujuan
pembuatan sebuah patung.
Apabila kausalitas
diteruskan tinjuannya, maka kausalitas merupakan mata rantai yang tidak ada
putusnya sebelum sampai kepada pertanyaan adanya penyebab pertama atau kausa
prima.
Parenialisme dalam bidang ontologis berasal pada teologi yakni memandang
bahwa realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak atau berkembang dari
potensialitas menuju aktualitas (teleologi). Jika dihubungkan dengan manusia,
manusia mempunyai potensialitas yang berubah menjadi aktualitas. Di samping
asas teleologi yang merupakan aktualisasi dari potensialitas, terdapat asas
supernatural dimana tujuan akhir dari supernatural adalah Tuhan sendiri.
Manusia menyadari asas teleologi dengan iman dan dogma yang diterimanya.
Segala yang ada di alam ini terdiri dari materi dan bentuk atau badan dan jiwa
yang disebut dengan substansi. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia
adalah potensialitas yang di dalam hidupnya tak jarang dikuasai oleh sifat
eksistensi keduniaan, memiliki akal dan perasaan sehingga kemauannya dapat
diatasi. Manusia bergerak untuk menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan sebagai supernatural yang merupakan pencipta alam semesta dan
merupakan tujuan akhir.
Segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, hewan,
tumbuhan, batu bangunan dasar dan sebagainya ialah merupakan suatu hal yang
logis dalam karaketernya. Setiap suatu yang ada tidak hanya merupakan kombinasi
antara zat atau benda, tetapi melainkan merupakan suatu unsur potensialitas
dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan oleh
Aristoteles, tetapi ia juga merupakan suatu hal yang datang bersama-sama dari
suatu apa yang tergantung pada inti dan potensialitas dengan tindakan
untuk berada.
Pandangan
Epistemologi
Perenialisme berpendapat bahwa yang
terlindung pada kepercayaan adalah segala sesuatu yang dapat diketahui dan
merupakan kenyataan. Kebenaran merupakan kesesuaian antara pikiran
(kepercayaan) dan benda, benda-benda yang dimaksud adalah hal-hal yang
bersendikan pada prinsip-prinsip keabadian. Oleh karena itu, menurut
perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk
diubah atau ditolak kebenarannya. Menurut Aristoteles, prinsip-prinsip
itu adalah:
a. Principium identitatis, yaitu identitas
sesuatu. Contohnya apabila batu adalah batu dan tidak akan menjadi kayu
b. Principium contradiksionis, yaitu hukum
kontradiksi (berlawanan, bertentangan). Suatu pernyataan pasti tidak mengandung
sekaligus kebenaran dan kesalahan, pasti hanya mengandung satu kenyataan yakni
benar atau salah.
c. Principium exelusi tertii, yaitu tidak ada
kemungkinan ketiga dalam satu dalil. Apabila pernyataan atau kebenaran pertama
salah, pasti pernyataan kedua benar dan sebaliknya apabila pernyataan pertama
benar pasti pernyataan yang berikutnya tidak benar.
d. Principium rationis sufisientis, prinsip ini pada
dasarnya mengetengahkan apabila barang sesuatu dapat diketahui asal muasalnya
pasti dapat dicari pula tujuan atau akibatnya.
Perenialisme mengemukakan adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan
filsafat. Science sebagai ilmu pengetahuan dimana science yang
meliputi biologi, fisika, sosiologi, dan sebagainya ialah pengetahuan yang
disebut sebagai empiriological analysis yakni analisa atas individual
things dan peristiwa-peristiwa pada tingkat pengalaman dan bersifat
alamiah.
Science seperti ini dalam pelaksanaan
analisa dan penelitiannya mempergunakan metode induktif. Selain itu, juga
mempergunakan metode deduktif, tetapi pusat penelitiannya ialah meneliti dan
mencoba dengan data tertentu yang bersifat khusus.
Filsafat sebagai pengetahuan, menurut perenialisme, fisafat yang tertinggi
ialah ilmu metafisika. Sebab, science sebagai ilmu pengetahuan
mengunakan metode induktif yang bersifat empiriological analysis
(analisa empiris), kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya
probabilitas. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat ontological
analysis, kebenaran yang dihasilkannya universal, hakiki, dan berjalan
dengan hukum-hukum berpikir sendiri, berpangkal pada hukum pertama bahwa
kesimpulannya bersifat mutlak asasi.
Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa
empiris dan analisa ontologi keduanya dianggap perenialisme dapat
komplementatif. Tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh
hukum-hukum dalam filsafat sendiri, tanpa tergantung kepada ilmu pengetahuan.
Pandangan
Aksiologi Perenialisme
Dalam bidang aksiologi, perenialisme
memandang masalah nilai yang berdasarkan juga pada prinsip supernatural, yakni
menerima universal yang abadi. Masalah utama prinsip supernatural yakni dalam
tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subjek telah memiliki
potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu ada pula
kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran)
manusia.
Perenialisme berpandangan bahwa
persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada
jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya yang
berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Dengan kata lain, melakukan kebaikan atau
kejahatan, dan kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan, sesudah
tingkatan ini baru kehidupan rasional.
Secara teologis, manusia perlu
mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan
Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha
dengan bantuan akal rasionya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.
Menurut Aristoteles, kebajikan dapat
dibedakan, yaitu moral dan intelektual. Kebajikan moral adalah kebajikan yang
merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan
intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh pendidikan dan
pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan pengawasan
akal. Oleh perenialisme estetika digolongkan kedalam filsafat praktis. Kesenian
sebagai salah satu sumber kenikmatan keindahan adalah suatu kebajikan
intelektual yang bersifat praktis filosofis. Hal ini berarti bahwa di dalam
mempersoalkan masalah keindahan harus berakar pada dasar dasar teologis,
ketuhanan.
Dengan demikian jelaslah bahwasanya
perenialisme menghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia
yang memiliki nafsu, kemauan dan pikiran. Dengan memperhatikan hal ini maka
pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat dapat terpenuhi.
Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Perenialisme
1. Plato
Gambar 1. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan
ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral
sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada
kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada
masing-masing individu. Plato ingin membangun dan membina tata kehidupan dunia
yang ideal, diatas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera, membina cara yang
menuju kebajikan.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah.
Menurutnya “dunia ideal” bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran,
pengetahuan dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari
ide mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya
itu. Dengan akal dan rasio semua itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berfikir, dan
dengan melalui pengamatan indra, karena dengan berfikir
itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan.
2.
Aristoteles
Gambar 2. Aristoteles
Ariestoteles (483-322 SM), adalah
murid Plato, namun dalam pemikirannya, ia mereaksi terhadap filsafat gurunya,
yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme (realisme
klasik). Ia mengajarkan cara berfikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat
pada alam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, manusia adalah makhluk
materi dan rohani. Sebagi makhluk materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani
manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada
manusia ideal, manusia sempurna.
Dalam kaitannya dengan filsafat,
perenialisme menjadikan kepercayaan sebagai pangkal tolak mengenai kenyataan
pengetahuan. Artinya, sesuatu itu ada kesesuaian antara pikir (kepercayaan) dan
benda-benda. Sedangkan, yang dimaksud benda adalah hal-hal yang adanya
bersendikan atas prinsip keabadian. Oleh karena itu menurut perenilisme, perlu
adanya dalil yang logis, sehingga untuk diubah atau ditolak kebenarannya.
Thomas Aquinas mencoba mempertemukan
antara pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen
dengan filsafat. Pandangan tentang realitas, ia kemukakan, bahwa segala sesuatu
yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya.
Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Ia menekankan dua
hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu dunia tidak diadakan dari
semacam bahan dasar dan penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquinas mengemukakan bahwa pengetahuan
itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi
pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, dapat
memperoleh pengetahuan dari pengalamannya dan rasionya. Filsafat Thomas Aquinas
disebut tomisme.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Perenialisme
Dalam bidang pendidikan,
perenialisme dipengaruhi oleh tokoh-tokoh, seperti Plato, Aristoteles, dan
Thomas Aquinas. Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh
filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles
sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba
memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh
pada zamannya.
Plato, dalam hal pendidikan pokok
pikirannya ialah bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
daripada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga
ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide tersebut menjadi ukuran, asas
normatif dalam dalam tata pemerintaha. Maka tujuan utama pendidikan adalah membina
pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif tersebut dalam espek
kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara
kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya
kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.
Ide-ide ataupun gagasan yang
dikeluarkan oleh Plato tersebut dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih
mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah
“kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi
dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.
Sedangkan tujuan yang diinginkan
oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam
individu agar menjadi aktualitas aktif dan nyata”. Pada hal ini peranan guru
ialah mengajar, memberi bantuan pada anak-anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Prinsip-prinsip pendidikan
perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikkulum untuk sekolah dasar, menegah, perguruan
tinggi dan pendidikan orang dewasa.
Pandangan Perennialisme Mengenai Belajar
Teori dasar dalam belajar menurut perenialisme adalah:
1.
Mental disiplin
sebagai teori dasar
Penganut perenialisme sependapat
bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental disiplin) adalah salah satu
kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena
itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan
kemampuan berpikir.
2.
Rasionalitas dan
asas kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus
menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan
sesempurna mungkin. Makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk
menjadi dirinya sendiri (be him-self), sebagai essential-self
yang membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus
diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang
dengan itu bersifat merdeka.
3.
Learning to reason ( belajar untuk berpikir)
Perenialisme tetap percaya dengan
asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca,
menulis dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu,
maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah
dan pendidikan tinggi.
4.
Belajar sebagai
persiapan hidup
Bagi Thomisme, belajar untuk berpikir
dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada
jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan dunia ataupun
surgawi.
5. Learning through teaching (belajar melalui
pengajaran)
Adler membedakan antara learning by instruction dan learning by
discovery, penyelidikan tanpa bantuan guru. Sebenarnya learning by
instruction adalah dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self
education. Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia
dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses
belajar sementara mengajar.
Guru mengembangkan
potensi-potensi self discovery, dan ia melakukan moral authority
atas murid-muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualifieddan
superior dibandingkan muridnya.
Hubungan Perenialisme dengan Aliran Filsafat
Aliran Filsafat yang saling mempunyai keterkaitan dengan Perenialisme
diantarnya aliran filsafat Neo-secholatisme. Hal ini mengacu terhadap teori
pendidikan dalam bagan aliran fisafat kependidikan, yang dikemukakan oleh (George
R Knight/1982;79). Berikut merupakan tahapan dan interpretasi yg mempunyai keterkaitan terhadap skolatisme.
Implikasi Ajaran Bidang Pendidikan
Perenialisme memandang pendidikan
sebagai proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang. Perenialisme merupakan aliran filsafat yang
berdasarkan pada kesatuan, bukan mencerai-beraikan, menemukan
persamaan-persamaan, bukan membanding-bandingkan, serta memahami isi, bukan
melihat luar atas berbagai aliran dan pemikiran.
1.
Tujuan Pendidikan Melestarikan
Budaya Bangsa
Bagi perenialis, nilai-nilai kebenaran bersifat
universal dan abadi. Inilah yang menjadi tujuan pendidikan sejati. Oleh karena
itu, tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik menyiapkan dan
menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan
dan kebaikan dalam hidup. Pendidikan harus sama bagi semua orang, dimana pun
dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu
memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal diatas dikemukakan oleh Hutckin
sebagia berikut: “ Man may very from society to society,…but the function of
man, is the same in very age dan very society, since it results from his nature
as a man. The aims of edutional system can exist:it is to improve man as man”.
Sekolah merupakan lembaga latihan elite intelektual yang mengetahui
kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru.
Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang
muda untuk terjun ke dalam kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan
peraturan-peraturan yang merupakan tempat peserta didik berkenalan dengan hasil
yang paling baik dari warisan sosial budaya. Sekolah menjadi tempat utama dalam
pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah keemasan memalui akalnya
dengan memberikan pengetahuan.
2.
Kedudukan Siswa Penerus Generasi
Terdahulu
Kaum perenialis berpendapat bahwa siswa adalah subyek sekaligus inti dalam
pelaksanaan pendidikan, dan guru hanya bertugas menolong membangkitkan potensi
yang dimiliki anak didik yang masih tersembunyi agar menjadi aktif dan nyata,
bukan membentuk atau memberikan kemampuan kepada anak didik.
3.
Peranan Guru Sebagai Tokoh Sentral
Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus
menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang
ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus
pikiran dan mengontrol seleranya. Apabila anak gagal dalam belajar, guru tidak
boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak
menyenangkan, atau pada rangkaian peristiwa psikologis yang tidak
menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gangguan tersebut, dengan melakukan
pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang
diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan.
4.
Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered, berpusat pada materi
pelajaran. Materi pelajaran bersifat seragam, universal dan abadi. Selain itu,
materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia
sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status
tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang
lebih besar. Oleh karena itu, titik berat kurikulum diletakkan pada pelajaran
sastra, matematika, bahasa dan humonaria, termasuk sejarah (liberal art).
Sedangkan, sumber dan cara mempelajari seni liberal tersebut adalah dengan
mempelajari The Greats Book. Berkenaan dengan kurikulum, hanya satu
pertanyaan yang harus diajukan, yaitu: apakah para siswa memperoleh muatan yang
merepresentasikan usaha-usaha yang paling tinggi dalam bidang itu?.
Prinsip-prinsip kurikulum untuk sekolah dasar, berlaku pula untuk sekolah
menengah dengan suatu prinsip peningkatan pemasakan akal anak didik.
Peningkatan ini adalah dalam bentuk pendidikan umum, yang menuntun perkembangan
umum, psikis dan fisik anak didik yang berumur 12 sampai 20 tahun.
Bagi mereka ynag berumur 12 sampai 16 tahun kurikulum yang diperlukan
terdiri dari bahasa-bahasa asing kuno seperti Latin dan Yunani dan
bahasa-bahasa modern. Penguasaan bahasa merupakan usaha pengenlan dunia luas
bagi anak didik. Anak didik yang berumur 16 sampai 20 tahun perlu mendapatkan
pengetahuan dengan kelompok:
a. Yang
mendapatkan kunci dari penalaran seperti logika, retorika, paramasastra dan
ilmu pasti.
b. Yang
termasuk ke dalam “buku-buku” besar sepanjang masa. Golongan ini adalah tulisan
dari tokoh-tokoh besar pula sepanjang masa.
Golongan yang pertama adalah
pengetahuan yang adapat meningkatkan atau mempertinggi kecerdasan akal,
sedangkan golongan kedua adalah isi hakiki dari kebudayaan. Kelompok-kelompok
kemanusiaan tersebut diatas bila dilanjutkan pada taraf pendidikan atertinggi
dapat merupakan bagian dari pendidikan umum. Tugas pendidikan umum ini
diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.
Dua dari pendukung filsafat
perenilais adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai Rektor
the University of Chicago,Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum
mahasiswa S1 berdasarkan buku besar bersejarah (Great books) dan pembahasan
buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum
perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan:
a.
Pendidikan harus mengangkat
pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun
akan selalu benar dimanapun juga. Pendek kata, kebenaran bersifat universal dan
tak terikat waktu.
b.
Karena kerja pikiran adalah bersifat
intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan, pendidikan juga harus
memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi
penting pendidikan.
c.
Pendidikan harus menstimulasi para
mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasan-gagasan siknifikan.
Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metode
pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
Sumber:
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2005.
Ali Hamdani, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta:
Kota Kembang, 1986.
Emanuel Wora. Perenialisme Kritik Atas Modernisme Dan Postmodernisme,
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Penerjemah: Mahmud Arif,
Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode, Yogyakarta:
IKIP, 1987.
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan(Manusia, Filsafat dan
Pendidikan),Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
M. Djumberansjah Indar, Filsafat Pendidikan, Surabaya: Karya
Abaditama,1994.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakasrta: Nuhalitera,
2010.
Muhammad Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan, Malang: FIP IKIP,
1978.
Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, Bandung: CV
Diponegoro, 1981.
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta:
Ar-Ruzzmedia, 2011.
Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung:
Alfabeta,2007.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam.,Jakarta:Bumi Aksara.1995.
0 comments: