Essensialisme
Gambar 1. William C. Bagley
Latar Belakang Aliran Esensialisme
Gerakan esensialisme muncul pada
awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti William C. Bagley,
Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandel. Pada tahun 1938 mereka
membentuk sust lembaga yang disebut “The
Esensialist Commite for the Advancement of American Education”.
Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Columbia University. Ia
yakin bahwa fungsi utma sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah
pada generasi muda.
Gambar 2. Thomas Briggs
Esensialisme suatu filsafat
pendidikan konservatif yang ada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik
terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Untuk mengangkat filsafat
esensialis, Bagley dan rekan-rekannya mendanai jurnal pendidikan, School dan society.
Gambar 3. Frederick Breed Obituary
Bagley dan rekan-rekannya yang
memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktik
pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan perogresif telah
merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum (Bagley, 1934).
Setelah Perang Dunia II, kritik terhadap pendidikan progresif telah tersebar
luas dan tampak merujuk pada satu kesimpulan: sekolah-sekolah gagal dalam tugas
mereka mentransmisikan warisan-warisan social dan intelektual Negara.
Gambar 4. Isac L. Kandel
Esensialisme, yang memiliki beberapa
kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki
suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah kepada para
siswa dalam suatu cara yang sistematik dan berdisiplin. Tidak seperti
perenialisme yang menekankan pada sejumlah kebenaran-kebenaran eksternal,
esensialisme menekankan pada apa yang mendukung pengetahuan dan keterampilan
yang diyakini penting yang harus diketahui oleh para anggota masyarakat yang
produktif. Beberapa buku telah ditulis yang mengeluh penurunan kualitas
pendidikan sekolah secara serius di Amerika Serikat dan menuntut suatu
pendekatan esensialis pada pendidikan sekolah. Di antaranya adalah James D.
Koernor The Case for Basic Education
(1959). H.G. Rickover Education and
Freedom (1959), dan Paul Copperman The
Literacy Hoax: The Decline of Reading, Wreiting and Learning in the Public
School and What We Can About Do It (1978).
Esensialisme, seperti halnya
perenialisme dan progresivisme, bukan suatu aliran filsafat tersendiri yang
mendirikan suatu bangunan filsafat, melaikan suatuu gerakan dalam pendidikan
dalam memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Dalam pemikiran pendidikannya memang pada umumnya
disadari atas filsafat tradisional idealism klasik dan realisme.Namun, mungkin
juga mereka memiliki latar belakang pemikiran filsafat yang bervariasi.
Esensialisme mengadakan protes
terhadap progresivisme, namun pada proses tersebut tidak menolak atau menentang
secara keseluruhan pandangan progresivisme seperti halnya yang dilakukan oleh
perenialisme. Ada beberapa aspek dari progresivisme yang secara prinsipil tidak
dapat diterimanya. Mereka berpendapat bahwa betul-betul ada hal-hal yang esensial
dari pengalaman anak yang memiliki nilai esensial dan perlu dibimbing. Semua
manusia dapat mengenal yang esensial tersebut apabila menusia berpendidikan.
Asal filsafat mereka mungkin idealism, mungkin relisme, namun kebanyakan mereka
tidak menolak epistemology Dewey.
Esensialisme
menyajikan hasil karya mereka untuk:
a) Penyajian
kembali materi kurikulun secara tegas.
b) Membedakan
program-program di sekolah secara esensial.
c) Mengangkat
kembaliwibawa guru dalam kelas, yang telah kehilangan kewibawaannya oleh
progresivitas.
Seperti
halnya perenialisnme, esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam pusat prose
pendidikan, namun tidak mendukung pandangan perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah “realitas abadi” yang disajikan dalam
buku-buku besar dari peradaban Barat. Buku-buku besar tersbut dapat digunakan,
namun bukan untuk mereka sendiri, malaikan untuk dihubungkan dengan
kanyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
Berbicara tentang perubahan, esensialisme berpandapat bahwa
perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupn
social. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus
terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan
terjadi sebagiai kemampuan intelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan
untuk mengadakan amandemen cara-cara
bertindak, organisasi, dan fungsi sosial.
Definisi Aliran Esensialisme
Esensialisme merupakan salah satu
aliran filsafat yang memberikan kontribusi pada dunia pendidikan. Secara
etimologi, esensialisme berasal dari bahasa inggris, yakni essential (inti atau
pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham, Dengan
demikian, essensialisme dapat diartikan paham/aliran yang memiliki
karakteristik mendasar, yang perlu, mengenai hakikatnya sebagai manusia. Bahwa
yang dimaksud dengan sifat mendasar manusia adalah fitrah manusia itu
sendiri.Aliran ini memihak dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Essensialisme merupakan salah satu cabang atau aliran filsafat yang sangat
menekankan sikap humanism. Essensialisme adalah sebuah paham didasari atas
padangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada
keduniawian, serba ilmiah, dan materialistik. Selain itu, juga diwarnai oleh
pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealism dan realism (Zuhairini,
1994 : 25). Kehidupan sekarang dipandang telah menyimpang.
Para tokoh terkemuka dalam
penyebaran aliran essensialisme adalah 1) Desidarius Erasmus, humanis Belanda
yang hidup pada akhir abad ke-15 dan
permulaan abad ke-16; Johann Amos Comeniuc (1592-1670) tokoh Renaisans yang
pertama; John Locke (1632-1704) tokoh dari Inggris; Johann Henrich Pestalozzi
(1746-1827); Johann Friederich Frobel (1782-1852); Johann Fiedrich Herbatt
(1776-1841) salah seorang murid Immanuel Kant; tokoh terakhir dari Amerika
Serikat William T.Harris (1835-1909) pengikut Hegel (Barnadib, 1985: 11). Para
tokoh tersebut terkenal sampai sekarang dan sepanjang sejarah pendidikan.
Aliran esensialisme merupakan aliran
pendidikan yang didasarkan pada nila-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban umat manusia. Esensialisme mamandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini,
1991:21).
Tujuan umum aliran esensialisme
adalah membentuk pribadi bahagia dunia akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah bagi esesnsialisme merupakan
semacam miniatur dunia yang bias dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran, dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum
esensialisme menerapka berbagai pola idealisme, realisme, dan sebagainya (Syam,
1978: 153). Dalam sumber lain dikemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah
menyampaikan warisan budaya dan sejarah suatu inti pengetahuan yang telah
terhimpun dan telah bertahan sepanjang waktu. Hal demikian adalah berharga
untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh
keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk
unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan
untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelektual atau
kecerdasan (Mudyahardjo, 163).
Filsafat ini adalah untuk menanamkan
siswa dengan esensi pengetahuan akademik, memberlakukan pendekatan
back-to-basics. Esensialisme memastikan bahwa kebijaksanaan akumulasi peradaban
kita seperti yang diajarkan dalam disiplin akademis tradisional diturunkan dari
guru ke murid. Disiplin tersebut mungkin termasuk membaca, menulis, sastra,
bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni, dan music. Selain itu,
pendekatan tradisional ini dimaksudkan untuk melatih pikiran, meningkatkan
penalaran, dan memastikan budaya yang sama.
Esensialisme percaya bahwa ada inti
umum pengetahuan yang perlu ditularkan
kepada siswa dengan cara yang sistematis dan disiplin. Penekanan dalam
perspektif konservatif pada standar intelektual dan moral bahwa sekolah harus
mengajar. Inti dari kurikulum adalah pengetahuan yang penting dan keterampilan
dan kekakuan akademis. Meskipun filsafat pendidikan mirip dalam beberapa cara
pada parenialisme, esensialis menerima gagasan bahwa kurikulum inti dapat
berubah. Sekolah harus praktis mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota
masyarakat yang berharga. Ini harus focus pada fakta realitas obtektif di luar,
siswa berlatih untuk membaca, menulis, berbicara, dan menghitung dengan jelas
dan logis.Sekolah tidak harus mencoba untuk mengatur atau memengaruhi
kebijakan. Siswa harus diajarkan kerja keras, menghormati otoritas, dan
disiplin.
Esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan
pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan
progresivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya lama.
Menurut esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara
berangsur-angsur dengan melalui kerja keras, susah payah selama beratus-ratus
tahun yang di dalamnya berakar gagasan-gagasan, dan cita-cita yang telah teruji
dalam perjalanan waktu. Nilai-nilai itu telah enyatu dengan pribadi masyarakat
dan ini berarti telah betul-betul teruji dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi aliran ini, pendidikan dipandang sebagai
pemeliharaan nilai-nilai lama (Education as Cultural Conversation). Oleh karena
itu, aliran esensialisme dianggap para ahli Conservative Road to Culture, yakni
aliran yang ingin kembali ke kebudayaan lama dan warisan sejarah yang sudah
membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya
bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia. Dengan demikian, kehidupan manusia menjadi tenang dan bahagia karena
sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman
hidup yang kuat.
Esensialisme mengacu pada pendekatan pendidikan
tradisional atau kembali ke dasar (Back to the Basics). Hal ini dinamakan
demikian karena berusaha untuk menanamkan siswa dengan esensi pengetahuan
akademik dan pengembangan karakter. Istilah esensialisme sebagai filsafat
pendidikan awalnya dipopulerkan pada 1930-an oleh pendidik Amerika, William
Bagley (1874-1946) Filosofi itu sendiri telah menjadi pendekatan dominan
terhada pendidikan di Amerika dari awal sejarah Amerika. Pada awal abad ke-20,
esensialisme dikritik terlalu kaku untuk mempersiaplan siswa secara memadai
untuk kehidupan dewasa. Tetapi, dengan peluncuran Sputnik pada 1957, minat
esensialisme dihidupkan kembali. Di antara pendukung modern posisi ini adalah
anggota Komisi Presiden pada Keunggulan dalam Pendidikan 1983. Pada laporan
mereka, A Nation at Risk mencerminkan kekhawatiran esensialis hari.
Esensialisme dalam pendidikan merupakan gerakan yang
dimulai oleh William C. Bagley untuk menekankan otoritas guru di dalam kelas.
Paara pendukung terhadap gerakan ini mengutuk semua pola pembelajaran yang
tidak sejalan dengan esensialisme. Para pendukung esensialisme berpandangan
bahwa standar di sekolah-sekolah telah diturunkan oleh kesempatan pendidikan
yang lebih besar dan mereka juga merasa bahwa materi pelajaran harus menjadi
pusat dari kurikulum. Progresif yang menekankan pada penyediaan pendidikan yang
berdasarkan pada kepentingan anak melalui aktivitas-tangan (hands-on-activity)
dan juga dikritik oleh esensialis.
Pemikiran yang termasuk dalam prinsip esensialis
bahwa pendidikan adalah kombinasi yang baik antara kerja keras dan usaha. Jika
siswa tertarik pada suatu mata pelajaran, dia mempelajarinya dengan baik. Akan
tetapi jika tidak, minat siswa harus dikembangkan dalam mata pelajaran
tersebut. Ini karena mungkin saja materi tersebut dibutuhkan pada masa depan atau siswa harus menunjukkan
semua tugas yang terlepas dari fakta. Apakah guru tersebut memberikan dia
dengan motivasi yang baik atau tidak.
Esensialisme pendidikan adalah filsafat pendidikan
memercayai bahwa anak-anak harus belajar mata pelajaran dasar tradisional dan
ini harus dipelajari secara menyeluruh dan teliti. Biasanya program esensialis
mengajak anak secara progresif, dari keterampilan kurang kompleks menuju
keterampilan yang lebih kompleks. Esensialis biasanya akan mengajarkan beberapa
mata pelajaran seperti membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah,
matematika, sains, seni, dan musik. Peran guru adalah untuk menanamkan rasa
hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas, pertimbangan, dan kepraktisan.
Esensialisme berusaha untuk mengajar siswa pengetahuan akumulasi peradaban kita
melalui mata kuliah inti dalam disiplin akademis tradisional.
Karakteristik Filsafat Pendidikan
Esensialisme
Filsafat
pendidikan esensialisme memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Minat-minat
yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2. Pengawasan,
pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam masa
balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
3. Oleh
karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan,
menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya
selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan dan tidak pernah
merupakan pemberian.
4. Esensialisme
menawarkan sebuah teori yang kukuh kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori
pendidikan yang diperlukan sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia,
pertanyaan tersebut tidak ada lagi pada hari ini.
Pola Dasar Pendidikan Esensialisme
Uraian berikut ini akan memberikan penjelasan
tentang pola dasar pendidikan aliran esensialisme yang didasari oleh pandangan
humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniaan,
serba ilmiah dan materialistik.
Untuk mendapatkan pemahaman pola dasar
yang lebih rinci kita harus mengenal dari referensi pendidikan esensialisme.
Imam Barnadib (1985)11) mengemukakan beberapa tokoh terkemuka yang berperan
dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan pola dasar
pemikiran mereka.
1. Desidarius Erasmus, humanis
Belanda yang hidup pada akhir abad ke15 dan permulaan abad ke 16, adalah tokoh
pertama yang menolak pandangan hidup yanag berbijak pada “dunia lain”. Ia
berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional,
sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat.
2. Johann Amos Comeniuc (1592-1670),
tokoh Reinaissance yang pertama yang berusaha mensistematiskan proses
pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatis, dan karena dunia ini
dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikaan adalah membentuk anak
sesuai dengan kehendak Tuhan.
3. John Lock (1632-1704), tokoh dari
inggris dan populer sebagai “pemikir dunia” mengatakan bahwa pendidikan
hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4. Johann Henrich Pestalozzi
(1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada
manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya.
Selain itu ia percaya kepada hal-hal yang transendental, dan manusia mempunyai
hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
5. Johann Frederich Frobel (1782-1852),
seorang tokoh transendental pula yang corak pandangannya bersifat
kosmissintetis, dan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian
dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti ketentuan dari
hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang anak sebagai makhluk yang
berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah
kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
6. Johann Fiedrich Herbart (1776-1841),
salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia berpendapat
bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan
dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan, dan ini
pula yang disebut “pengajaran yang mendidik” dalam proses pencapaian
pendidikan.
7. Tokoh terakhir dari Amerika Serikat,
William T. Harris (1835-1909)-pengikut Hegel, berusaha menerapkan Idealisme
Obyektif pada pendidikan umum. Menurut dia bahwa tugas pendidikan adalah
mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan
kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri
setiap orang kepada masyarakat.
Pandangan-pandangan dalam
Esensialisme
Sebagai reaksi dalam tuntutan zaman
yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai terasa sejak abad ke15, realisme dan
idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk itu perlu
disusun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat jadi
penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu.
Kepercayaan yang dimaksud diusahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai
dasar-dasar yang kuat.
Dasar-dasar yang telah diketemukan,
yang akhirnya dirangkum menjadi konsep filsafat pendidikan esensialisme ini,
tamapk manifestasinya dalam sejarah dari zaman Renaisans sampai timbulnya
Progresivisme.
Pandangan
Mengenai Realita
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa
dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta
isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak
dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini
adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
a) Realisme yang mendukung esensialisme
disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai
alam serta tempat manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu
pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.
b) Idealisme obyektif mempunyai
pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Yang
dimaksud dengan ini adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh
yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa
totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit,
idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata.
Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
Pandangan
Mengenai Nilai
Nilai, seperti halnya pengetahuan
berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat
nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua
aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan
manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang
mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan
berikut ini.
Untuk hal yang pertama, dapatlah
ditunjukan bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada.
Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan
fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada.
Untuk hal yang kedua, dapatlah
diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai
hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
Pandangan
Mengenai Pendidikan
Pandangan mengenai pendidikan yang
diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar
semata-mata dpat memberikangambaran mengenai bagian-bagian utama dari
esensialisme. Disamping itu karena tidak setiap filsuf idealis dan realis
mempunyai faham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat
eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya
tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana
dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut abad pertengahan.
Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang
mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada
sejak zaman Renaisans.
Tokoh yang perlu dibicarakan dalam
rangka menyingkap sejarah esensialisme ini adalah William T. Harris
(1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Hegel ini
berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris,
tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang
tidak terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah lembaga
yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun
penyesuaian orang kepada masyarakat.
Oleh karena terasaskan adanya
saingan dari progresivisme, maka pada sekitar tahun 1930 timbul
organisasi yang bernama Esentialist Comittee for the Advancement of
Education. Dengan timbulnya Komite ini pandangan-pandangan esensialisme
(menurut tafsiran abad xx), mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan.
Pandangan
Mengenai Pengetahuan
Pada kacamata realisme masalah
pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan sebagai makhluk yang padanya
berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme,
pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah
makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan
antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Pandangan
Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup,
memulai tinjauannya mengenai pribadi individual dengan menitikberatkan pada
aku, menurut idealisme, seseorang belajar pada taraf permulaan adalah memahami
akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari
mikrokosmos menuju kemakrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan
pandangan diatas, dapatlah dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804).
Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera
memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Pandangan
Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang
bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi
yang kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan
dilakukan. Pandangan dari dua tokoh dipaparkan dibawah ini.
Herman Harrell Horne menulis dalam
bukunya yang berjudul This New Education mengatakan bahwa hendaknya
kurikulum itu bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang
ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu
disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan
ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan
sejalan dengan fundamen-fundamen itu.
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal
School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Disamping
menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata
pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah :
a.
Universum
Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala
manifestasi hidup manusia, diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam,
asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b.
Sivilisasi
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup
masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap
lingkungannya, mengejar kebutuhan, hidup aman dan sejahtera.
c.
Kebudayaan
Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian,
kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d.
Kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti
riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme
adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan akhirat. Isi
pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu
menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan
semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum
esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme,
realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan
pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial
yang ada di
masyarakat.
Implikasi
Ajaran Esensialisme dalam Bidang Pendidikan
Aliran esensialisme meletakkan budaya dan adat yang
telah berlaku sebagai komponen penting dalam menentukan dinamika pandangannya.
Maksudnya, budaya yang ada merupakan sumber utama dalam perumusan sudut
pandang. Dalam hal ini, aliran esensialisme melihat pendidikan dari paradigm
pewarisan budaya dari generasi ke generasi.
Sebagai proses yang dilakukan secara
sadar dalam membentuk generasi muda yang bermoral, cerdas, berprinsip, dan
memiliki keterampilan hidup, pendidikan memiliki peran yang vital dalam
pelestarian budaya. Bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep pengembangan
arah kemajuan bangsa, kepentingan politis dan mencakup pada kebutuhan
pengembangan bisnis. Kepentingan-kepentingan tersebut harus menjadi
satu-kesatuan yang utuh dan tidak bias dipisahkan. Ketika terdapat kesenjangan
antar kepentingan tersebut, maka akan terjadi otorisasi kebijakan.
Dalam pandangan ini, tujuan
pendidikan yang ingin disampaikan adalah berupa pewarisan budaya dan sejarah
melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang
waktu untuk diketahi oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh
keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur
yang inti (esensialisme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan bertujuan
mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
Pendidikan berpusat pada guru (teacher-centered). Umumnya diyakini
bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka
harus dipaksa belajar. Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui
diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui
penyampaian informasi dan membaca.
Sumber:
Ali Mudhofir, 1998, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Liberty, Yogyakarta.
Mudler, D.C., Imam
dalam Ilmu Pengetahuan, Badan Penerbitan Kristen, Djakarta.
0 comments: