Saturday, May 5, 2018

Esensialisme


Essensialisme


Gambar 1. William C. Bagley

Latar Belakang Aliran Esensialisme
            Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya, seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandel. Pada tahun 1938 mereka membentuk sust lembaga yang disebut “The Esensialist Commite for the Advancement of American Education”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utma sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi muda.

Gambar 2.  Thomas Briggs
             Esensialisme suatu filsafat pendidikan konservatif yang ada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Untuk mengangkat filsafat esensialis, Bagley dan rekan-rekannya mendanai jurnal pendidikan, School dan society.

Gambar 3. Frederick Breed Obituary
            Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktik pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan perogresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum (Bagley, 1934). Setelah Perang Dunia II, kritik terhadap pendidikan progresif telah tersebar luas dan tampak merujuk pada satu kesimpulan: sekolah-sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan social dan intelektual Negara.

Gambar 4. Isac L. Kandel
            Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematik dan berdisiplin. Tidak seperti perenialisme yang menekankan pada sejumlah kebenaran-kebenaran eksternal, esensialisme menekankan pada apa yang mendukung pengetahuan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus diketahui oleh para anggota masyarakat yang produktif. Beberapa buku telah ditulis yang mengeluh penurunan kualitas pendidikan sekolah secara serius di Amerika Serikat dan menuntut suatu pendekatan esensialis pada pendidikan sekolah. Di antaranya adalah James D. Koernor The Case for Basic Education (1959). H.G. Rickover Education and Freedom (1959), dan Paul Copperman The Literacy Hoax: The Decline of Reading, Wreiting and Learning in the Public School and What We Can About Do It (1978).
            Esensialisme, seperti halnya perenialisme dan progresivisme, bukan suatu aliran filsafat tersendiri yang mendirikan suatu bangunan filsafat, melaikan suatuu gerakan dalam pendidikan dalam memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Dalam  pemikiran pendidikannya memang pada umumnya disadari atas filsafat tradisional idealism klasik dan realisme.Namun, mungkin juga mereka memiliki latar belakang pemikiran filsafat yang bervariasi.
            Esensialisme mengadakan protes terhadap progresivisme, namun pada proses tersebut tidak menolak atau menentang secara keseluruhan pandangan progresivisme seperti halnya yang dilakukan oleh perenialisme. Ada beberapa aspek dari progresivisme yang secara prinsipil tidak dapat diterimanya. Mereka berpendapat bahwa betul-betul ada hal-hal yang esensial dari pengalaman anak yang memiliki nilai esensial dan perlu dibimbing. Semua manusia dapat mengenal yang esensial tersebut apabila menusia berpendidikan. Asal filsafat mereka mungkin idealism, mungkin relisme, namun kebanyakan mereka tidak menolak epistemology Dewey.
Esensialisme menyajikan hasil karya mereka untuk:
a)      Penyajian kembali materi kurikulun secara tegas.
b)      Membedakan program-program di sekolah secara esensial.
c)      Mengangkat kembaliwibawa guru dalam kelas, yang telah kehilangan kewibawaannya oleh progresivitas.
Seperti halnya perenialisnme, esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam pusat prose pendidikan, namun tidak mendukung pandangan perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah “realitas abadi” yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban Barat. Buku-buku besar tersbut dapat digunakan, namun bukan untuk mereka sendiri, malaikan untuk dihubungkan dengan kanyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
            Berbicara tentang perubahan, esensialisme berpandapat bahwa perubahan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupn social. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagiai kemampuan intelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen cara-cara bertindak, organisasi, dan fungsi sosial.

Definisi Aliran Esensialisme
            Esensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang memberikan kontribusi pada dunia pendidikan. Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa inggris, yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham, Dengan demikian, essensialisme dapat diartikan paham/aliran yang memiliki karakteristik mendasar, yang perlu, mengenai hakikatnya sebagai manusia. Bahwa yang dimaksud dengan sifat mendasar manusia adalah fitrah manusia itu sendiri.Aliran ini memihak dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Essensialisme merupakan salah satu cabang atau aliran filsafat yang sangat menekankan sikap humanism. Essensialisme adalah sebuah paham didasari atas padangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah, dan materialistik. Selain itu, juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealism dan realism (Zuhairini, 1994 : 25). Kehidupan sekarang dipandang telah menyimpang.
            Para tokoh terkemuka dalam penyebaran aliran essensialisme adalah 1) Desidarius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir  abad ke-15 dan permulaan abad ke-16; Johann Amos Comeniuc (1592-1670) tokoh Renaisans yang pertama; John Locke (1632-1704) tokoh dari Inggris; Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827); Johann Friederich Frobel (1782-1852); Johann Fiedrich Herbatt (1776-1841) salah seorang murid Immanuel Kant; tokoh terakhir dari Amerika Serikat William T.Harris (1835-1909) pengikut Hegel (Barnadib, 1985: 11). Para tokoh tersebut terkenal sampai sekarang dan sepanjang sejarah pendidikan.
            Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nila-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme mamandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991:21).
            Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esesnsialisme merupakan  semacam miniatur dunia yang bias dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapka berbagai pola idealisme, realisme, dan sebagainya (Syam, 1978: 153). Dalam sumber lain dikemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun dan telah bertahan sepanjang waktu. Hal demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelektual atau kecerdasan (Mudyahardjo, 163).
            Filsafat ini adalah untuk menanamkan siswa dengan esensi pengetahuan akademik, memberlakukan pendekatan back-to-basics. Esensialisme memastikan bahwa kebijaksanaan akumulasi peradaban kita seperti yang diajarkan dalam disiplin akademis tradisional diturunkan dari guru ke murid. Disiplin tersebut mungkin termasuk membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni, dan music. Selain itu, pendekatan tradisional ini dimaksudkan untuk melatih pikiran, meningkatkan penalaran, dan memastikan budaya yang sama.
            Esensialisme percaya bahwa ada inti umum pengetahuan yang perlu  ditularkan kepada siswa dengan cara yang sistematis dan disiplin. Penekanan dalam perspektif konservatif pada standar intelektual dan moral bahwa sekolah harus mengajar. Inti dari kurikulum adalah pengetahuan yang penting dan keterampilan dan kekakuan akademis. Meskipun filsafat pendidikan mirip dalam beberapa cara pada parenialisme, esensialis menerima gagasan bahwa kurikulum inti dapat berubah. Sekolah harus praktis mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang berharga. Ini harus focus pada fakta realitas obtektif di luar, siswa berlatih untuk membaca, menulis, berbicara, dan menghitung dengan jelas dan logis.Sekolah tidak harus mencoba untuk mengatur atau memengaruhi kebijakan. Siswa harus diajarkan kerja keras, menghormati otoritas, dan disiplin.
Esensialisme modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progresivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya lama. Menurut esensialisme, nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras, susah payah selama beratus-ratus tahun yang di dalamnya berakar gagasan-gagasan, dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Nilai-nilai itu telah enyatu dengan pribadi masyarakat dan ini berarti telah betul-betul teruji dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi aliran ini, pendidikan dipandang sebagai pemeliharaan nilai-nilai lama (Education as Cultural Conversation). Oleh karena itu, aliran esensialisme dianggap para ahli Conservative Road to Culture, yakni aliran yang ingin kembali ke kebudayaan lama dan warisan sejarah yang sudah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan  yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Dengan demikian, kehidupan manusia menjadi tenang dan bahagia karena sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup yang kuat.
Esensialisme mengacu pada pendekatan pendidikan tradisional atau kembali ke dasar (Back to the Basics). Hal ini dinamakan demikian karena berusaha untuk menanamkan siswa dengan esensi pengetahuan akademik dan pengembangan karakter. Istilah esensialisme sebagai filsafat pendidikan awalnya dipopulerkan pada 1930-an oleh pendidik Amerika, William Bagley (1874-1946) Filosofi itu sendiri telah menjadi pendekatan dominan terhada pendidikan di Amerika dari awal sejarah Amerika. Pada awal abad ke-20, esensialisme dikritik terlalu kaku untuk mempersiaplan siswa secara memadai untuk kehidupan dewasa. Tetapi, dengan peluncuran Sputnik pada 1957, minat esensialisme dihidupkan kembali. Di antara pendukung modern posisi ini adalah anggota Komisi Presiden pada Keunggulan dalam Pendidikan 1983. Pada laporan mereka, A Nation at Risk mencerminkan kekhawatiran esensialis hari.
Esensialisme dalam pendidikan merupakan gerakan yang dimulai oleh William C. Bagley untuk menekankan otoritas guru di dalam kelas. Paara pendukung terhadap gerakan ini mengutuk semua pola pembelajaran yang tidak sejalan dengan esensialisme. Para pendukung esensialisme berpandangan bahwa standar di sekolah-sekolah telah diturunkan oleh kesempatan pendidikan yang lebih besar dan mereka juga merasa bahwa materi pelajaran harus menjadi pusat dari kurikulum. Progresif yang menekankan pada penyediaan pendidikan yang berdasarkan pada kepentingan anak melalui aktivitas-tangan (hands-on-activity) dan juga dikritik oleh esensialis.
Pemikiran yang termasuk dalam prinsip esensialis bahwa pendidikan adalah kombinasi yang baik antara kerja keras dan usaha. Jika siswa tertarik pada suatu mata pelajaran, dia mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi jika tidak, minat siswa harus dikembangkan dalam mata pelajaran tersebut. Ini karena mungkin saja materi tersebut dibutuhkan  pada masa depan atau siswa harus menunjukkan semua tugas yang terlepas dari fakta. Apakah guru tersebut memberikan dia dengan motivasi yang baik atau tidak.
Esensialisme pendidikan adalah filsafat pendidikan memercayai bahwa anak-anak harus belajar mata pelajaran dasar tradisional dan ini harus dipelajari secara menyeluruh dan teliti. Biasanya program esensialis mengajak anak secara progresif, dari keterampilan kurang kompleks menuju keterampilan yang lebih kompleks. Esensialis biasanya akan mengajarkan beberapa mata pelajaran seperti membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah, matematika, sains, seni, dan musik. Peran guru adalah untuk menanamkan rasa hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas, pertimbangan, dan kepraktisan. Esensialisme berusaha untuk mengajar siswa pengetahuan akumulasi peradaban kita melalui mata kuliah inti dalam disiplin akademis tradisional.

Karakteristik Filsafat Pendidikan Esensialisme
Filsafat pendidikan esensialisme memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2.      Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spesies manusia.
3.      Oleh karena kemampuan untuk mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, menegakkan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan dan tidak pernah merupakan pemberian.
4.      Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kukuh kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah. Apabila terdapat sebuah pertanyaan di masa lampau tentang jenis teori pendidikan yang diperlukan sejumlah kecil masyarakat demokrasi di dunia, pertanyaan tersebut tidak ada lagi pada hari ini.

Pola Dasar Pendidikan Esensialisme
Uraian berikut ini akan memberikan penjelasan tentang pola dasar pendidikan aliran esensialisme yang didasari oleh pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniaan, serba ilmiah dan materialistik.
Untuk mendapatkan pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita harus mengenal dari referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib (1985)11) mengemukakan beberapa tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme dan sekaligus memberikan pola dasar pemikiran mereka.
1.      Desidarius Erasmus,  humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke15 dan permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yanag berbijak pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat.
2.      Johann Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikaan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
3.      John Lock (1632-1704), tokoh dari inggris dan populer sebagai “pemikir dunia” mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4.      Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada hal-hal yang transendental, dan manusia mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
5.      Johann Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental pula yang corak pandangannya bersifat kosmissintetis, dan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti ketentuan dari hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya.
6.      Johann Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut “pengajaran yang mendidik” dalam proses pencapaian pendidikan.
7.      Tokoh terakhir dari Amerika Serikat, William T. Harris (1835-1909)-pengikut Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan umum. Menurut dia bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat.

Pandangan-pandangan dalam Esensialisme
Sebagai reaksi dalam tuntutan zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai terasa sejak abad ke15, realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk itu perlu disusun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat jadi penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang dimaksud diusahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.
Dasar-dasar yang telah diketemukan, yang akhirnya dirangkum menjadi konsep filsafat pendidikan esensialisme ini, tamapk manifestasinya dalam sejarah dari zaman Renaisans sampai timbulnya Progresivisme.

Pandangan Mengenai Realita
            Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
a)      Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.
b)      Idealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.

Pandangan Mengenai Nilai
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut ini.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukan bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada.
Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.

Pandangan Mengenai Pendidikan
Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dpat memberikangambaran mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme. Disamping itu karena tidak setiap filsuf idealis dan realis mempunyai faham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut abad pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak zaman Renaisans.
Tokoh yang perlu dibicarakan dalam rangka menyingkap sejarah esensialisme ini adalah William T. Harris (1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Hegel ini berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris, tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.
Oleh karena terasaskan adanya saingan  dari progresivisme, maka pada sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Esentialist Comittee for the Advancement of Education. Dengan timbulnya Komite ini pandangan-pandangan esensialisme (menurut tafsiran abad xx), mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan.

Pandangan Mengenai Pengetahuan
Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Pandangan Mengenai Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individual dengan menitikberatkan pada aku, menurut idealisme, seseorang belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju kemakrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan pandangan diatas, dapatlah dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.

Pandangan Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan dilakukan. Pandangan dari dua tokoh dipaparkan dibawah ini.
Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New Education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen itu.
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Disamping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah :
a.      Universum
Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia, diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b.      Sivilisasi
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, hidup aman dan sejahtera.
c.       Kebudayaan
Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d.      Kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur  dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.

Implikasi Ajaran Esensialisme dalam Bidang Pendidikan
Aliran esensialisme meletakkan budaya dan adat yang telah berlaku sebagai komponen penting dalam menentukan dinamika pandangannya. Maksudnya, budaya yang ada merupakan sumber utama dalam perumusan sudut pandang. Dalam hal ini, aliran esensialisme melihat pendidikan dari paradigm pewarisan budaya dari generasi ke generasi.
            Sebagai proses yang dilakukan secara sadar dalam membentuk generasi muda yang bermoral, cerdas, berprinsip, dan memiliki keterampilan hidup, pendidikan memiliki peran yang vital dalam pelestarian budaya. Bahwa pendidikan harus sesuai dengan konsep pengembangan arah kemajuan bangsa, kepentingan politis dan mencakup pada kebutuhan pengembangan bisnis. Kepentingan-kepentingan tersebut harus menjadi satu-kesatuan yang utuh dan tidak bias dipisahkan. Ketika terdapat kesenjangan antar kepentingan tersebut, maka akan terjadi otorisasi kebijakan.
            Dalam pandangan ini, tujuan pendidikan yang ingin disampaikan adalah berupa pewarisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahi oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensialisme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan bertujuan mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
            Pendidikan berpusat pada guru (teacher-centered). Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar. Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.

Sumber:
Ali Mudhofir, 1998, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Liberty, Yogyakarta.
Mudler, D.C., Imam dalam Ilmu Pengetahuan, Badan Penerbitan Kristen, Djakarta.
Previous Post
Next Post

0 comments: