Monday, May 7, 2018

Eksistensialisme


Eksistensialisme

 Gambar 1. Martin Heidegger

Sejarah dan Pengertian Eksistensialisme

Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenologiyang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli Filsafat Kiergaard  dan Nitzsche Filsafat Jerman (1813-1855) Filsafatnya untuk menjawab pertanyaan ”Bagaimanakah aku sebagai seorang individu”. Hal ini terjadi karna pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya) Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi manusia autentik jika memiliki gairah, keterlibatanan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman ini tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyan”Bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani. Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.
Adapun eksistensialisme menurut pengertian terminologinya adalah suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya, dan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada disekelilingnya, serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan kesadaran. Disini dapat disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari eksistensialisme adalah manusia konkret.Selanjutnya adalah ciri-ciri dari aliran eksistensialisme yang terdiri dari 2 ciri, yaitu yang pertama adalah selalu melihat cara manusia berada dan eksistensi sendiri disini diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, dan yang ke-dua adalah manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai serta didasari dari pengalaman yang konkret atau empiris yang kita kenal.
Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi didalam filsafat Eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti tersendiri.Istilah eksistensi memiliki arti cara manusia berada didalam dunia,dan hal ini berada dengan cara berada benda benda.Sebab benda benda tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu yang memiliki hubungan dengan yang lain,dan berada disamping yang lain.Secara lengkap eksistensi memiliki hubungan dengan yang lain,dan berada disamping yang  lain.Secara lengkap eksistensi memiliki makna bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada.Dalam pemikiran ini jelas bahwa manusia dapat memastikan diri bahwa dirinya ada.

Ciri-Ciri Utama Aliran Filsafat Eksistensialisme

Dalam aliran filsafat Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri utama antara lain sebagai berikut:
Ø  Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu.
Ø  Tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
Ø  Sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Ø  Individualisme adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam rays ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai tujuan.

Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Eksistensialisme

Pemikiran Karl Jaspers (1883-1969) memandang bahwa pokok persoalan fisafat yang paling penting baginya adalah bagaimana dapat menangkap “Ada”atau   “Berada”(Das sein) dalam eksistensi sendiri.Apakah arti “Ada” itu?menurut Jaspers “Ada”bukanlah hal yang objektif yang dapat diketahui setiap orang.Orang harus mencarinya dengan susah payah dengan melalui beberapa tahap.Sebuah yang konkret bukanlah “Ada”dalam arti yang umum.Benda tertentu yang konkret itu(meja,kursi,dan sebagainya)adalah suatu “Ada”.”Ada”dalam arti yang sebenarnya, “Ada”yang umum,meliputi merangkumkan segala yang ada secara terbatas dan tertentu. “Ada”ini tidak dapat diraih,tidak dapat dimasukkan kedalam kategori “Ada” yang demikian ini disebut Das Ungreinfende(yang merangkum).Apabila dipikirkan secara mendalam dan radikal maka “Ada”sebagai Das Ungreinfende sebagai yang merangkum “tidak dapat dikenal”sekalipun demikian  “Ada” dapat dipikirkan ,bukan secara langsung.Melainkan tidak langsung,yaitu mulai pendekatan pendekatan tertentu.Pendekatan pendekatan itu dapat membantu kita untuk “Ada”menjadi lebih jelas atau lebih dipahami,atau terlebih lebih dapat member petunjuk kea rah mana kita harus mencarinya.
Pemikiran Soren Aabye Kiekeegaard (1813-1855) mengedepankan teori bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan statis tetapi senantiasa terbentuk, manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya hanya sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya mereka untuk menggapai cita-citanya pada masa depan.
Pemikiran Jean Paul Sartr e(1905-1980) mengungkapkan“Manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri”. Itu adalah salah satu statement dan mungkin bernilai teori yang terkenal darinya.
Pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900) menurutnya manusia yang teruji adalah manusia yang cenderung melalui jalan yang terjal dalam hidupnya dan definisi dari aliran eksistensialisme menurutnya adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super dan yang mempunyai mental majikan bukan mental budak supaya manusia tidak diam dengan kenyamanan saja.
Pemkiran  Martin Heidegger(1889-1976) mengungkapkan inti pemikirannya adalah memusatkan semua hal kepada manusia dan mengembalikan semua masalah apapun ujung-ujungnya adalah manusia sebagai subjek atau objek dari masalah tersebut.

Implikasi Ajaran Eksistensialisme dalam Bidang Pendidikan

a.      Pengetahuan

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

b.      Nilai

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.

c.       Pendidikan

Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
1.      Tujuan Pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
2.      Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
3.      Proses Belajar Mengajar.
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
4.      Peranan Guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.

Sumber:
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Amri, Amsal. STUDI FILSAFAT PENDIDIKAN. Banda aceh : PeNA.
Bernadib, Imam. 1976. Filsafat pendidikan. Yogyakarta: Karang Malang.
Drijarkasa. 2011. Filsafat manusia. Yogyakarta: kanisius.
Gandhi HW, TW. 2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jogjakarta: Ar-   ruzzmedia.
J. Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan mahasiswa). Salatiga: Widya Sari Press.
Nasution. 2003. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sadulloh, Uyoh. 2010. PENGANTAR Filsafat Pendidikan. Bandung: cv ALVABETA.
Surajiyo. 2000. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Institut Ilmu Sosial dan Politik.

Previous Post
Next Post

0 comments: